Sempat ditentang keluarga, Aiptu Rusmieadi membulatkan tekad membangun pondok pesantren. Impian anggota Unit Reskrim Polres Klaten itu akhirnya terwujud pada 2006.
Pondok pesantren milik Aiptu Rusmieadi (54) terletak di Dusun Dukuh, Desa Dukuh, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Jalur menuju ponpes tidak
Pondok pesantren milik Aiptu Rusmieadi (54) terletak di Dusun Dukuh, Desa Dukuh, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Jalur menuju ponpes tidak
mulus. Bersarung dan memakai baju koko berwarna biru serta kopiah putih, Rusmieadi berkisah mengenai sejarah panjang tentang pendirian ponpesnya itu.
Ia menceritakan pada tahun 2001 dirinya kerap mengunjungi Masjid Golo di Kecamatan Bayat. Pada saat itulah ia berkenalan dengan seorang guru yang mengajarkan tentang hidup. "Saya waktu itu sedang dalam titik dimana hati saya bertanya, siapa sesungguhnya orang yang dianggap paling benar. Kemudian dari seorang guru, saya diajarkan bahwa orang yang paling benar adalah orang yang merasa dirinya paling bersalah," kenangnya, pekan lalu.
Dari pengalaman itu Rusmieadi seolah tersadar, akan pentingnya perbaikan akan pribadi, dan bukan orang lain. "Jangan sibuk mencari siapa yang paling benar, namun perbaiki diri kita dulu. Dari situlah saya mencoba membangun mental saya terlebih dahulu," urainya.
Setelah itu, terbersit keinginan baginya untuk mendirikan sebuah tempat belajar berupa pondok pesantren. Bertahun-tahun memimpikan hal itu, pada tahun 2006 Rusmieadi akhirnya berkesempatan mewujudkan mimpinya.
Ketika gempa 2006 terjadi, ia merupakan seorang penerima bantuan untuk membenahi rumahnya. Dari uang tersebut ia kemudian membenahi rumah dan dijadikan sebuah pondok kecil.Usahanya tidak berjalan mulus, ia sempat mendapatkan tentangan dari keluarganya sendiri. Sempat bertahan selama beberapa tahun Ia kemudian memutuskan untuk memindahkan ponpesnya ke tengah sebuah lahan persawahan. Adapun tempat itu berada di dekat petilasan Syekh Subakir.
Dari sebuah gubuk kecil yang dipergunakan untuk musala, ia kemudian secara bertahap membangun pondok pesantrennya. Selain menyisihkan sebagian gajinya, ia mengaku mendapatkan sumbangan dari beberapa kawan yang berempati atas perjuangannya.
"Keluarga, mulai dari istri, orangtua sampai anak saya sempat menentang keinginan saya. Hal itu dikarenakan, saat itu keadaan ekonomi keluarga saya sedang tidak baik. Mereka menginginkan saya fokus dengan kehidupan keluarga terlebih dahulu," kenang Rusmieadi yang telah mengabdi sebagai anggota polisi sejak 31 tahun lalu.
Namun ia memupus semua anggapan orang tersebut. Ia kini perlahan berhasil membesarkan pondok pesantrennya. Dua anaknya sendiri kini menjadi pelatih bulu tangkis di Malaysia, sedangkan anak ragilnya menjadi mahasiswi di sebuah universitas ternama di Yogyakarta.
Di tanah wakaf seluas 1.000 meter persegi itu, Rusmieadi mendirikan lima bangunan yang terdiri atas musala, tempat santri dan ustaz serta sebuah pendapa kecil. Meskipun telah mendirikan sebuah ponpes yang diberi nama Ki Ageng Becik, namun ada saja halangan yang dialami Rusmieadi. Diantaranya para pengajar yang tidak betah mengajar di tempat tersebut. Alasannya satu, karena finansial pondok yang belum kuat.
Eka Bakti Saputra, merupakan salah satu pengajar yang masih bertahan di tempat tersebut. Ia berkata, mengajarkan ilmu untuk ponpes itu jangan mengharapkan gaji. "Jangan mengharapkan gaji di tempat ini, karena bila itu terjadi maka tidak akan lama bertahan di pondok pesantren ini," tuturnya.
Selain sebagai tempat mengaji, Rusmieadi mengatakan pondok pesantren tersebut juga memiliki usaha pembuatan tempe, krupuk dan batu bata. Usaha itu dilakukan untuk menopang finansial dari pondok pesantren tersebut.
Sumber; tribunnews.com
Ia menceritakan pada tahun 2001 dirinya kerap mengunjungi Masjid Golo di Kecamatan Bayat. Pada saat itulah ia berkenalan dengan seorang guru yang mengajarkan tentang hidup. "Saya waktu itu sedang dalam titik dimana hati saya bertanya, siapa sesungguhnya orang yang dianggap paling benar. Kemudian dari seorang guru, saya diajarkan bahwa orang yang paling benar adalah orang yang merasa dirinya paling bersalah," kenangnya, pekan lalu.
Dari pengalaman itu Rusmieadi seolah tersadar, akan pentingnya perbaikan akan pribadi, dan bukan orang lain. "Jangan sibuk mencari siapa yang paling benar, namun perbaiki diri kita dulu. Dari situlah saya mencoba membangun mental saya terlebih dahulu," urainya.
Setelah itu, terbersit keinginan baginya untuk mendirikan sebuah tempat belajar berupa pondok pesantren. Bertahun-tahun memimpikan hal itu, pada tahun 2006 Rusmieadi akhirnya berkesempatan mewujudkan mimpinya.
Ketika gempa 2006 terjadi, ia merupakan seorang penerima bantuan untuk membenahi rumahnya. Dari uang tersebut ia kemudian membenahi rumah dan dijadikan sebuah pondok kecil.Usahanya tidak berjalan mulus, ia sempat mendapatkan tentangan dari keluarganya sendiri. Sempat bertahan selama beberapa tahun Ia kemudian memutuskan untuk memindahkan ponpesnya ke tengah sebuah lahan persawahan. Adapun tempat itu berada di dekat petilasan Syekh Subakir.
Dari sebuah gubuk kecil yang dipergunakan untuk musala, ia kemudian secara bertahap membangun pondok pesantrennya. Selain menyisihkan sebagian gajinya, ia mengaku mendapatkan sumbangan dari beberapa kawan yang berempati atas perjuangannya.
"Keluarga, mulai dari istri, orangtua sampai anak saya sempat menentang keinginan saya. Hal itu dikarenakan, saat itu keadaan ekonomi keluarga saya sedang tidak baik. Mereka menginginkan saya fokus dengan kehidupan keluarga terlebih dahulu," kenang Rusmieadi yang telah mengabdi sebagai anggota polisi sejak 31 tahun lalu.
Namun ia memupus semua anggapan orang tersebut. Ia kini perlahan berhasil membesarkan pondok pesantrennya. Dua anaknya sendiri kini menjadi pelatih bulu tangkis di Malaysia, sedangkan anak ragilnya menjadi mahasiswi di sebuah universitas ternama di Yogyakarta.
Di tanah wakaf seluas 1.000 meter persegi itu, Rusmieadi mendirikan lima bangunan yang terdiri atas musala, tempat santri dan ustaz serta sebuah pendapa kecil. Meskipun telah mendirikan sebuah ponpes yang diberi nama Ki Ageng Becik, namun ada saja halangan yang dialami Rusmieadi. Diantaranya para pengajar yang tidak betah mengajar di tempat tersebut. Alasannya satu, karena finansial pondok yang belum kuat.
Eka Bakti Saputra, merupakan salah satu pengajar yang masih bertahan di tempat tersebut. Ia berkata, mengajarkan ilmu untuk ponpes itu jangan mengharapkan gaji. "Jangan mengharapkan gaji di tempat ini, karena bila itu terjadi maka tidak akan lama bertahan di pondok pesantren ini," tuturnya.
Selain sebagai tempat mengaji, Rusmieadi mengatakan pondok pesantren tersebut juga memiliki usaha pembuatan tempe, krupuk dan batu bata. Usaha itu dilakukan untuk menopang finansial dari pondok pesantren tersebut.
Sumber; tribunnews.com